Budaya Kawin Paksa Ditinjau Dari Hukum Kekerasan Seksual
Abstract
Permasalahan terkini terkait masih adanya beberapa daerah di Indonesia yang mempertahankan budaya pernikahan paksa. Di sisi lain, banyak pihak berpendapat bahwa praktik ini melanggar hak asasi manusia, sementara berbagai tradisi budaya justru seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Penelitian ini mengkaji kebijakan hukum pidana terkait pernikahan paksa yang dilakukan atas nama budaya, dengan mempertimbangkan kondisi terkini serta perlindungan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Lantas, bagaimana Undang-Undang TPKS memandang pernikahan paksa yang di beberapa wilayah dilegalkan oleh hukum adat? Untuk menjawab pertanyaan ini, penelitian ini menggunakan metodologi penelitian hukum normatif melalui pendekatan perundang-undangan. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan menelaah peraturan-peraturan yang relevan, yang kemudian dianalisis secara komprehensif untuk menarik kesimpulan yang menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa (1) TPKS telah mengatur peraturan terkait kawin paksa yang dilakukan dengan alasan budaya, sehingga mengubah tindakan yang tadinya non-kriminal menjadi tindakan yang dapat menimbulkan dampak hukum. (2) Terdapat dua jenis perlindungan hukum terhadap perkawinan paksa dengan dalih budaya: perlindungan preventif, yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah, dan perlindungan represif, yang mencakup pemberian hukuman kepada pelanggar beserta hukuman lainnya dan pemberian hak kepada korban baik selama maupun setelah proses hukum.